Makna Filosofis Rumah Adat Minangkabau
Rumah Gadang merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suku Minangkabau yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.
ARSITEKTUR
Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang menganut falsafah “alam takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu.
BENTUK DASARNYA
Rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis.
Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka.
Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula.
Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya.
Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin.
Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.
ARSITEKTUR
Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang menganut falsafah “alam takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu.
BENTUK DASARNYA
Rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis.
Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka.
Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula.
Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya.
Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin.
Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.
Filosofi Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau)
Apa yang kita banggakan dengan rumah gadang sekarang ini? Tergilas dengan rumah bergaya arsitektur modern baik dari bentuk dan fungsinya. Rumah yang terpakai kadang kala sebagai pertanda dan “hiasan” kalau kita itu memang orang Minang. Fungsinya kadang kala merana tak menyentuh hakekat kehidupan masyarakat Minangkabau yang konon katanya berfalsafah alam takambang jadi guru itu.
Sebab secara hakekatnya dari rumah gadang tersebut baik dari gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau tersebut. Walaupun demikian kitapun tak bisa menafikan di beberapa daerah yang masih kental adat dan budaya dan memfungsikan rumah gadang dalam kehidupannya dengan baik.
Bahkan ada yang masih terawat dengan baik dan berdiri dengan megahnya. Deretan rumah gadang tersebut dapat kita jumpai misalnya di Kabupaten Solok Selatan yang dijuluki dengan seribu rumah gadang, jejeran rumah gadang di Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya dan beberapa daerah lainnya di Propinsi Sumatera Barat.
Disigi dari filosofinya, rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena bentuknya yang besar melainkan fungsinya yang gadang. Ini ternukil dalam ungkapan yang sering kita dengan bila tetua-tetua adat membicarakan masalah rumah gadang tersebut.
Rumah Gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naik batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliaknyo aluang bunian
Dari ungkapan tersebut sesungguhnya dapat kita pahami bahwa fungsi rumah gadang tersebut menyelingkupi bagian keseluruhan kehidupan orang Minangkabau itu sendiri sehari-hari, baik sebagai tempat kediaman keluarga dan merawat keluarga, pusat melaksanakan berbagai upacara, sebagai tempat tinggal bersama keluarga dan inipun diatur dimana tempat perempuan yang sudah berkeluarga dan yang belum, sebagai tempat bermufakat, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama dalam sebuah suku, kaum maupun nagari dan sebagainya. Memang sebuah fungsional dari rumah gadang tersebut bila kita pahami dengan baik.
Sekarang pertanyaan kita adalah apakah fungsi rumah gadang tersebut memang seperti itu adanya sekarang?. Memang sulit untuk menjawabnya, namun jamak terjadi di daerah kita akan terjadinya degredasi dalam memfungsikan rumah gadang tersebut dalam kehidupan orang Minangkabau itu sendiri.
Berbagai persoalan yang muncul, mulai dari tingkat suku, kaum dan nagari kadang kala tak mengindahkan fungsi rumah gadang tersebut. Contoh kecil saja kita sebut, persoalan tanah yang sampai ketingkat pengadilan marupakan ketidakmampuan kita memahami dari fungsi rumah gadang itu sendiri. Tidakkah ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan bahwa “bulek aie dek pambuluah-bulek kato dek mupakat, Aie batitisan batuang-bana bana batatasan urang, Bajanjang naiek-batanggo turun” Ini dimusyawarahkan dan dimufakatkan di rumah gadang sebetulnya. Namun kita lebih senang mengutamakan pemecahannya ke pengadilan dari pada ke rumah gadang tersebut. Tidakkah ada rumah gadang yang akan menyelesaikannya?
Dari perspektif sejarah, pemerintah Kolonial Belanda sudah mewanti-wanti untuk memfungsikan hal tersebut dan menawarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di nagari dengan adatnya. Pada 1930-an, bahkan menjadi praktek umum pengadilan bahwa perselisihan-perselisihan kaum, tidak diterima oleh pengadilan kecuali pihak-pihak yang berperkara telah memperoleh keputusan dari pemangku adat sebelumnya, secara implisit yakni fungsi rumah gadang tersebut (Guyt, 1934 : 134) Pada 1935, sejenis “peradilan kampung” secara resmi diterapkan oleh pemerintah kolonial. Sebuah ordonansi yang mengamandemen Rechtsreglement voor de Buitenggewesten, R.B.G., disahkan dan dinyatakan bahwa : “Tindakan-tindakan hukum, dimana para hakim dari komunitas-komunitas yang lebih kecil harus membuat pertimbangan menurut hukum adat, tunduk kepada pertimbangan tersebut”. Bahkan lembaga-lembaga adat yang baru mendapat pengakuan itu mendapat status hakim perdamaian. Pribumi tidak dihalangi untuk menyampaikan perkara mereka ke pengadilan-pengadilan Belanda. Namun, distriktsgerechten harus menerangkan kepada mereka apakah “peradilan kampung” itu telah memberikan keputusan dalam kasus tersebut, dan jika demikian, apakah mereka wajib mempertimbangkan keputusan tersebut
Beckman (2000) menulis bahwa sejak kemerdekaan Hindia Belanda tahun 1945 situasi majemuk itu pada dasarnya tidak berubah. Peraturan yang terkandung di dalam Pasal 163 dan 131. I.S misalnya pada umumnya tetap berlaku dan tetap diterapkan di Pengadilan Negeri di Minangkabau masa itu. Pasal 163 I.S (Indische Staatregeling) menetapkan siapa yang tergolong kedalam kelompok penduduk yang mana, dan pasal 131 mengatur undang-undang mana yang harus diterapkan untuk kelompok-kelompok penduduk tertentu. Begitulah nuansa bagaimana kekuatan adat diutamakan, walaupun dominasi hukum barat juga menyentuh kehidupan masyarakat kita saat itu. Namun untuk kearah itu sudah dimulainya.
Begitu juga dengan hiasan di depannya yakni rangkiang. Tidak lagi menyentuh dan difungsikan dalam kehidupan kita. Cermati saja kejadian gizi buruk. Gizi buruk tak akan terjadi bila kita memahami roh rangkiang yang berdiri megah di depan rumah dagang. Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, setiap keluarga akan dihiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi.
Kenapa tidak, untuk membeli barang-barang tersebut-terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka untuk mengatasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa. Dengan adanya rangkiang ini telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di kemudian hari-sebab dalam rangkiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan padi.
Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Nah, sekarang sebetulnya menurut filosofinya di negeri kita ini tidak mengenal yang namanya gizi buruk, kelaparan, pinjam sini pinjam sana (ngutang) dan lain sebagainya. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini! (Undri, Haluan, Senin, 21 Maret 2011).
Ironinya ketika gempa dahsyat terjadi banyak para arsitek menyarankan pembuatan rumah kedepannya dengan mencontoh pola arsitekturnya yang ada pada rumah gadang. Argumentasinya adalah bahwa rangkaian dari arsitektur rumah gadang sangat kokoh dan bila terjadi gempa akan dapat meminimalisir terjadi kerusakan. Rumah gadang yang lagi di-gadangkan. Seakan-akan kita baliak lagi apabila dirasa perlu dan bila tidak perlu ditinggalkan. Itulah nasibnya rumah gadang sekarang ini.
Kedepan, memfungsikan rumah gadang dengan ke-gadangan-nya merupakan sebuah keharusan supaya kita tak tergilas dengan gilasan arus global dan modernisasi yang serta merta membuat kita akan terbawa arus jua. Segenap kita bergandengan tangan untuk mewujudkan ini.
Artkel ditulis oleh : UNDRI (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang), Sumber Harian Haluan,Selasa, 05 April 2011 02:16
Sebab secara hakekatnya dari rumah gadang tersebut baik dari gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau tersebut. Walaupun demikian kitapun tak bisa menafikan di beberapa daerah yang masih kental adat dan budaya dan memfungsikan rumah gadang dalam kehidupannya dengan baik.
Bahkan ada yang masih terawat dengan baik dan berdiri dengan megahnya. Deretan rumah gadang tersebut dapat kita jumpai misalnya di Kabupaten Solok Selatan yang dijuluki dengan seribu rumah gadang, jejeran rumah gadang di Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya dan beberapa daerah lainnya di Propinsi Sumatera Barat.
Disigi dari filosofinya, rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena bentuknya yang besar melainkan fungsinya yang gadang. Ini ternukil dalam ungkapan yang sering kita dengan bila tetua-tetua adat membicarakan masalah rumah gadang tersebut.
Rumah Gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naik batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliaknyo aluang bunian
Dari ungkapan tersebut sesungguhnya dapat kita pahami bahwa fungsi rumah gadang tersebut menyelingkupi bagian keseluruhan kehidupan orang Minangkabau itu sendiri sehari-hari, baik sebagai tempat kediaman keluarga dan merawat keluarga, pusat melaksanakan berbagai upacara, sebagai tempat tinggal bersama keluarga dan inipun diatur dimana tempat perempuan yang sudah berkeluarga dan yang belum, sebagai tempat bermufakat, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama dalam sebuah suku, kaum maupun nagari dan sebagainya. Memang sebuah fungsional dari rumah gadang tersebut bila kita pahami dengan baik.
Sekarang pertanyaan kita adalah apakah fungsi rumah gadang tersebut memang seperti itu adanya sekarang?. Memang sulit untuk menjawabnya, namun jamak terjadi di daerah kita akan terjadinya degredasi dalam memfungsikan rumah gadang tersebut dalam kehidupan orang Minangkabau itu sendiri.
Berbagai persoalan yang muncul, mulai dari tingkat suku, kaum dan nagari kadang kala tak mengindahkan fungsi rumah gadang tersebut. Contoh kecil saja kita sebut, persoalan tanah yang sampai ketingkat pengadilan marupakan ketidakmampuan kita memahami dari fungsi rumah gadang itu sendiri. Tidakkah ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan bahwa “bulek aie dek pambuluah-bulek kato dek mupakat, Aie batitisan batuang-bana bana batatasan urang, Bajanjang naiek-batanggo turun” Ini dimusyawarahkan dan dimufakatkan di rumah gadang sebetulnya. Namun kita lebih senang mengutamakan pemecahannya ke pengadilan dari pada ke rumah gadang tersebut. Tidakkah ada rumah gadang yang akan menyelesaikannya?
Dari perspektif sejarah, pemerintah Kolonial Belanda sudah mewanti-wanti untuk memfungsikan hal tersebut dan menawarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di nagari dengan adatnya. Pada 1930-an, bahkan menjadi praktek umum pengadilan bahwa perselisihan-perselisihan kaum, tidak diterima oleh pengadilan kecuali pihak-pihak yang berperkara telah memperoleh keputusan dari pemangku adat sebelumnya, secara implisit yakni fungsi rumah gadang tersebut (Guyt, 1934 : 134) Pada 1935, sejenis “peradilan kampung” secara resmi diterapkan oleh pemerintah kolonial. Sebuah ordonansi yang mengamandemen Rechtsreglement voor de Buitenggewesten, R.B.G., disahkan dan dinyatakan bahwa : “Tindakan-tindakan hukum, dimana para hakim dari komunitas-komunitas yang lebih kecil harus membuat pertimbangan menurut hukum adat, tunduk kepada pertimbangan tersebut”. Bahkan lembaga-lembaga adat yang baru mendapat pengakuan itu mendapat status hakim perdamaian. Pribumi tidak dihalangi untuk menyampaikan perkara mereka ke pengadilan-pengadilan Belanda. Namun, distriktsgerechten harus menerangkan kepada mereka apakah “peradilan kampung” itu telah memberikan keputusan dalam kasus tersebut, dan jika demikian, apakah mereka wajib mempertimbangkan keputusan tersebut
Beckman (2000) menulis bahwa sejak kemerdekaan Hindia Belanda tahun 1945 situasi majemuk itu pada dasarnya tidak berubah. Peraturan yang terkandung di dalam Pasal 163 dan 131. I.S misalnya pada umumnya tetap berlaku dan tetap diterapkan di Pengadilan Negeri di Minangkabau masa itu. Pasal 163 I.S (Indische Staatregeling) menetapkan siapa yang tergolong kedalam kelompok penduduk yang mana, dan pasal 131 mengatur undang-undang mana yang harus diterapkan untuk kelompok-kelompok penduduk tertentu. Begitulah nuansa bagaimana kekuatan adat diutamakan, walaupun dominasi hukum barat juga menyentuh kehidupan masyarakat kita saat itu. Namun untuk kearah itu sudah dimulainya.
Begitu juga dengan hiasan di depannya yakni rangkiang. Tidak lagi menyentuh dan difungsikan dalam kehidupan kita. Cermati saja kejadian gizi buruk. Gizi buruk tak akan terjadi bila kita memahami roh rangkiang yang berdiri megah di depan rumah dagang. Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, setiap keluarga akan dihiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi.
Kenapa tidak, untuk membeli barang-barang tersebut-terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka untuk mengatasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa. Dengan adanya rangkiang ini telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di kemudian hari-sebab dalam rangkiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan padi.
Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Nah, sekarang sebetulnya menurut filosofinya di negeri kita ini tidak mengenal yang namanya gizi buruk, kelaparan, pinjam sini pinjam sana (ngutang) dan lain sebagainya. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini! (Undri, Haluan, Senin, 21 Maret 2011).
Ironinya ketika gempa dahsyat terjadi banyak para arsitek menyarankan pembuatan rumah kedepannya dengan mencontoh pola arsitekturnya yang ada pada rumah gadang. Argumentasinya adalah bahwa rangkaian dari arsitektur rumah gadang sangat kokoh dan bila terjadi gempa akan dapat meminimalisir terjadi kerusakan. Rumah gadang yang lagi di-gadangkan. Seakan-akan kita baliak lagi apabila dirasa perlu dan bila tidak perlu ditinggalkan. Itulah nasibnya rumah gadang sekarang ini.
Kedepan, memfungsikan rumah gadang dengan ke-gadangan-nya merupakan sebuah keharusan supaya kita tak tergilas dengan gilasan arus global dan modernisasi yang serta merta membuat kita akan terbawa arus jua. Segenap kita bergandengan tangan untuk mewujudkan ini.
Artkel ditulis oleh : UNDRI (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang), Sumber Harian Haluan,Selasa, 05 April 2011 02:16
Kenapa Rumah Gadang Minangkabau Atapnya Seperti Tanduk Kerbau?
Rumah gadang merupakan rumah adat Minangkabau. Rumah gadang ini mempunyai ciri-ciri yang sangat khas. Bentuk dasarnya adalah balok segi empat yang mengembang ke atas. Garis melintangnya melengkung tajam dan landai dengan bagian tengah lebih rendah. Lengkung atap rumahnya sangat tajam seperti tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan dan rumah landai seperti badan kapal.
Atap rumahnya terbuat dari ijuk. Bentuk atap yang melengkung dan runcing ke atas itu disebut gonjong. Karena atapnya membentuk gonjong, maka rumah gadang disebut juga rumah bagonjong.
Asal usul bentuk rumah gadang
Bentuk atap rumah gadang yang seperti tanduk kerbau sering dihubungkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau. Cerita tersebut tentang kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa.
Bentuk-bentuk menyerupai tanduk kerbau sangat umum digunakan orang Minangkabau, baik sebagai simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang.
Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek moyang Minangkabau pada masa dahulu. Perahu nenek moyang ini dikenal dengan sebutan lancang.
Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai.
Lancang kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong.
Lancang ini menjadi tempat hunian buat sementara. Selanjutnya, para penumpang perahu tersebut membuat rumah tempat tinggal yang menyerupai lancang tersebut. Setelah para nenek moyang orang Minangkabau ini menyebar, bentuk lancang yang bergonjong terus dijadikan sebagai ciri khas bentuk rumah mereka.
Dengan adanya ciri khas ini, sesama mereka bahkan keturunannya menjadi lebih mudah untuk saling mengenali. Mereka akan mudah mengetahui bahwa rumah yang memiliki gonjong adalah milik kerabat mereka yang berasal dari lancang yang sama mendarat di pinggir Batang Kampar.
Bagian-bagian dalam Rumah Gadang Minangkabau
Rumah adat Minangkabau dinamakan rumah gadang adalah karena ukuran rumah ini memang besar. Besar dalam bahasa Minangkabau adalah gadarig. Jadi, rumah gadang artinya adalah rumah yang besar. Bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur.
Ruangan lepas ini merupakan ruang utama yang terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang rumah gadang berbanjar dari muka ke belakang atau dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang mbnandai lanjar, sedangkan tiang dari kini ke kanan menandai ruang. Jadi, yang disebut lanjar adalah ruangan dari depan ke belakang. Ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang.
Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah. Biasanya jumlah lanjar adalah dua, tiga clan empat. Jumlah ruangan biasanya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Ukuran rumah gadang tergantung kepada jumlah lanjarnya.
Sebagai rumah yang besar, maka di dalam rumah gadang itu terdapat bagian-bagian yang mempunyai fungsi khusus. Bagian lain dari rumah gadang adalah bagian di bawah lantai. Bagian ini disebut kolong dari rumah gadang. Kolong rumah gadang cukup tinggi dan luas. Kolong ini biasanya dijadikan sebagai gudang alat-alat pertanian atau dijadikan sebagai tempat perempuan bertenun. Seluruh bagian kolong ini ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Dinding rumah gadang terbuat dari kayu, kecuali bagian belakang yang dari bambu. Dinding papan dipasang vertikal. Pada setiap sambungan papan diberi bingkai. Semua papan tersebut dipenuhi dengan ukiran. Kadang-kadang tiang yang ada di dalam juga diukir. Sehingga, ukirang merupakan hiasan yang dominan dalam bangunan rumah gadang Minangkabau. Ukiran disini tidak dikaitkan dengan kepercayaan yang bersifat sakral, tetapi hanya sebagai karya seni yang bernilai hiasan
sumber : http://gema-budaya.blogspot.com
Atap rumahnya terbuat dari ijuk. Bentuk atap yang melengkung dan runcing ke atas itu disebut gonjong. Karena atapnya membentuk gonjong, maka rumah gadang disebut juga rumah bagonjong.
Asal usul bentuk rumah gadang
Bentuk atap rumah gadang yang seperti tanduk kerbau sering dihubungkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau. Cerita tersebut tentang kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa.
Bentuk-bentuk menyerupai tanduk kerbau sangat umum digunakan orang Minangkabau, baik sebagai simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang.
Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek moyang Minangkabau pada masa dahulu. Perahu nenek moyang ini dikenal dengan sebutan lancang.
Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai.
Lancang kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong.
Lancang ini menjadi tempat hunian buat sementara. Selanjutnya, para penumpang perahu tersebut membuat rumah tempat tinggal yang menyerupai lancang tersebut. Setelah para nenek moyang orang Minangkabau ini menyebar, bentuk lancang yang bergonjong terus dijadikan sebagai ciri khas bentuk rumah mereka.
Dengan adanya ciri khas ini, sesama mereka bahkan keturunannya menjadi lebih mudah untuk saling mengenali. Mereka akan mudah mengetahui bahwa rumah yang memiliki gonjong adalah milik kerabat mereka yang berasal dari lancang yang sama mendarat di pinggir Batang Kampar.
Bagian-bagian dalam Rumah Gadang Minangkabau
Rumah adat Minangkabau dinamakan rumah gadang adalah karena ukuran rumah ini memang besar. Besar dalam bahasa Minangkabau adalah gadarig. Jadi, rumah gadang artinya adalah rumah yang besar. Bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur.
Ruangan lepas ini merupakan ruang utama yang terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang rumah gadang berbanjar dari muka ke belakang atau dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang mbnandai lanjar, sedangkan tiang dari kini ke kanan menandai ruang. Jadi, yang disebut lanjar adalah ruangan dari depan ke belakang. Ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang.
Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah. Biasanya jumlah lanjar adalah dua, tiga clan empat. Jumlah ruangan biasanya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Ukuran rumah gadang tergantung kepada jumlah lanjarnya.
Sebagai rumah yang besar, maka di dalam rumah gadang itu terdapat bagian-bagian yang mempunyai fungsi khusus. Bagian lain dari rumah gadang adalah bagian di bawah lantai. Bagian ini disebut kolong dari rumah gadang. Kolong rumah gadang cukup tinggi dan luas. Kolong ini biasanya dijadikan sebagai gudang alat-alat pertanian atau dijadikan sebagai tempat perempuan bertenun. Seluruh bagian kolong ini ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Dinding rumah gadang terbuat dari kayu, kecuali bagian belakang yang dari bambu. Dinding papan dipasang vertikal. Pada setiap sambungan papan diberi bingkai. Semua papan tersebut dipenuhi dengan ukiran. Kadang-kadang tiang yang ada di dalam juga diukir. Sehingga, ukirang merupakan hiasan yang dominan dalam bangunan rumah gadang Minangkabau. Ukiran disini tidak dikaitkan dengan kepercayaan yang bersifat sakral, tetapi hanya sebagai karya seni yang bernilai hiasan
sumber : http://gema-budaya.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar